Anak Pertamaku

Minggu, 15 Juni 2008

“Demi Kebebasan, Membela Kebathilan!”

Atas nama kebebasan, ajaran Islam boleh dipalsukan, Al-Quran boleh diacak-acak. Dan untuk semua itu, umat Islam diminta toleran dan tidak emosi. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-238

Oleh: Adian Husaini

Masih ingat Lia Eden? Dia mendakwahkan dirinya sebagai Jibril Ruhul Kudus. Lia, yang mengaku mendapat wahyu dari Allah, pada 25 November 2007, berkirim surat kepada sejumlah pejabat negara. Kepada Ketua Mahkamah Agung RI, Bagir Manan, Lia berkirim surat yang bernada amarah. ”Akulah Malaikat Jibril sendiri yang akan mencabut nyawamu. Atas Penunjukan Tuhan, kekuatan Kerajaan Tuhan dan kewenangan Mahkamah Agung Tuhan berada di tanganku,” tulis Lia dalam surat berkop ”God’s Kingdom: Tahta Suci Kerajaan Eden”.

Jadi, mungkin hanya ada di Indonesia, ”Malaikat Jibril” berkirim surat lengkap dengan kop surat dan tanda tangannya, serta ”berganti tugas” sebagai ”pencabut nyawa.

Maka, saat ditanya tentang status aliran semacam ini, MUI dengan tegas menyatakan, ”Itu sesat.” Mengaku dan menyebarkan ajaran yang menyatakan bahwa seseorang telah mendapat wahyu dari Malaikat Jibril, apalagi menjadi jelmaan Jibril adalah tindakan munkar yang wajib dicegah dan ditanggulangi. (Kata Nabi saw: ”Barangsiapa diantara kamu yang melihat kemunkaran, maka ubah dengan tangannya. Jika tidak mampu, ubah dengan lisan. Jika tidak mampu, dengan hati. Dan itulah selemah-lemah iman”).

Ada sejumlah fatwa yang telah dikeluarkan MUI tentang aliran sesat ini. Ahmadiyah dinyatakan sesat sejak tahun 1980. Pada tahun 2005, keluar juga fatwa MUI yang menyatakan bahwa paham Sekularisme, Pluralisme Agama dan Liberalisme, bertentangan dengan Islam dan haram umat Islam memeluknya. Tugas ulama, sejak dulu, memang memberikan fatwa. Tugas ulama adalah menunjukkan mana yang sesat dan mana yang tidak; mana yang haq dan mana yang bathil.

Tapi, gara-gara menjalankan tugas kenabian, mengelarkan fatwa sesat terhadap kelompok-kelompok seperti Lia Eden, Ahmadiyah, dan sejenisnya, MUI dihujani cacian. Ada yang bilang MUI tolol. Sebuah jurnal keagamaan yang terbit di IAIN Semarang menurunkan laporan utama: ”Majelis Ulama Indonesia Bukan Wakil Tuhan.” Ada praktisi hukum angkat bicara di sini, ”MUI bisa dijerat KUHP Provokator.” Seorang staf dari Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), dalam wawancaranya dengan jurnal keagamaan ini menyatakan, bahwa:

”MUI kan hanya semacam menjual nama Tuhan saja. Dia seakan-akan mendapatkan legitimasi Tuhan untuk menyatakan sesuatu ini mudharat, sesuatu ini sesat. Padahal, dia sendiri tidak mempunyai kewenangan seperti itu. Kalau persoalan agama, biarkan Tuhan yang menentukan.” Ketika ia ditanya, ”Menurut Anda, Sekarang MUI mau diapakan?” dia jawab: ”Ya paling ideal dibubarkan.” (Jurnal Justisia, edisi 28 Th.XIII, 2005)


Majalah ADIL (edisi 29/II/24 Januari-20 Februari 2008), memuat wawancara dengan Abdurrahman Wahid (AW):

Adil: Apa alasan Gus Dur menyatakan MUI harus dibubarkan?

AW: Karena MUI itu melanggar UUD 1945. Padahal, di dalam UUD itu menjamin kebebasan mengeluarkan pendapat dan kemerdekaan berbicara..

Adil: Mengapa MUI tidak melakukan peninjauan atas konstitusi yang isinya begitu gamblang itu?

AW: Karena mereka itu goblok. Itu saja. Mestinya mereka mengerti. Mereka hanya melihat Islam itu sebatas institusi saja. Padahal Islam itu adalah ajaran.

Adil: Apa seharusnya sikap MUI terhadap kelompok-kelompok Islam sempalan itu?

AW: Dibiarkan saja. Karena itu sudah jaminan UUD. Harus ingat itu.

Perlu dicatat, bahwa Ketua Umum MUI saat ini adalah K.H. Sahal Mahfudz yang juga Rais Am PBNU. Wakil Ketua Umumnya adalah Din Syamsuddin, yang juga ketua PP Muhammadiyah. Hingga kini, salah satu ketua MUI yang sangat vokal dalam menyuarakan kesesatan Ahmadiyah dan sebagainya adalah KH Ma’ruf Amin yang juga salah satu ulama NU terkemuka.

Sejak keluarnya fatwa MUI tentang Ahmadiyah dan paham Sepilis tahun 2005, berbagai kelompok juga telah datang ke Komnas HAM, menuntut pembubaran MUI. Salah satunya adalah Kontras, yang kini dikomandani oleh Asmara Nababan. Kelompok-kelompok ini selalu mengusung paham kebebasan beragama. Puncak aksi mereka dalam aksi dukungan terhadap Ahmadiyah dilakukan pada 1 Juni 2008 di kawasan Monas Jakarta, yang kemudian berujung bentrokan dengan massa Islam yang berdemonstrasi di tempat yang sama.

Dasar kaum pemuja kebebasan untuk menghujat MUI adalah HAM dan paham kebebasan. Bagi kaum liberal ini, pasal-pasal dalam HAM dipandang sebagai hal yang suci dan harus diimani dan diaplikasikan. Dalam soal kebebasan beragama, mereka biasanya mengacu pada pasal 18 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), yang menyatakan: ”Setiap orang mempunyai hak kebebasan berpendapat, keyakinan dan agama; hak ini termasuk kebebasan untuk mengubah agamanya atau keyakinan, dan kebebasan baik sendiri-sendiri atau bersama-sama dengan yang lain dan dalam ruang publik atau privat untuk memanifestasikan agama dan keyakinannya dalam menghargai, memperingati, mempraktekkan dan mengajarkan.”

Deklarasi ini sudah ditetapkan sejak tahun 1948. Para pendiri negara Indonesia juga paham akan hal ini. Tetapi, sangatlah naif jika pasal itu kemudian dijadikan dasar pijakan untuk membebaskan seseorang/sekelompok orang membuat tafsir agama tertentu seenaknya sendiri. Khususnya Islam. Sebab, Islam adalah agama wahyu (revealed religion) yang telah sempurna sejak awal (QS 5:3). Umat Islam bersepakat dalam banyak hal, termasuk dalam soal kenabian Muhammad saw sebagai nabi terakhir. Karena itu, sehebat apa pun seorang Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, radhiyallahu ’anhum, mereka tidak terpikir sama sekali untuk mengaku menerima wahyu dari Allah. Bahkan, Sayyidina Abu Bakar ash-Shiddiq telah bertindak tegas terhadap para nabi palsu dan para pengikutnya.

Ada batas

Masalah semacam ini sudah sangat jelas, sebagaimana jelasnya ketentuan Islam, bahwa shalat subuh adalah dua rakaat, zuhur empat rakaat, haji harus dilakukan di Tanah Suci, dan sebagainya. Karena itulah, dunia Islam tidak pernah berbeda dalam soal kenabian. Begitu juga umat Islam di Indonesia. Karena itulah, setiap penafsiran yang menyimpang dari ajaran pokok Islam, bisa dikatakan sebagai bentuk kesesatan. Meskipun bukan negara Islam, tetapi Indonesia adalah negara dengan mayoritas pemeluk Islam. Keberadaan dan kehormatan agama Islam dijamin oleh negara. Sejak lama pendiri negara ini paham akan hal ini. Bahkan, KUHP pun masih memuat pasal-pasal tentang penodaan agama. UU No 1/PNPS/1965 yang sebelumnya merupakan Penpres No 1/1965 juga ditetapkan untuk menjaga agama-agama yang diakui di Indonesia.

Bangsa mana pun paham, bahwa kebebasan dalam hal apa pun tidak dapat diterapkan tanpa batas. Ada peraturan yang harus ditaati dalam menjalankan kebebasan. Seorang pengendara motor – kaum liberal atau tidak -- tidak bisa berkata kepada polisi, ”Bapak melanggar HAM, karena memaksa saya mengenakan helm. Soal kepala saya mau pecah atau tidak, itu urusan saya. Yang penting saya tidak mengganggu orang lain.”

Namun, simaklah, betapa ributnya sebagian kalangan ketika Pemda Sumbar mewajibkan siswi-siswi muslimah mengenakan kerudung di sekolah. Kalangan non-Muslim juga ikut meributkan masalah ini. Ketika ada pemaksaan untuk mengenakan helm oleh polisi mereka tidak protes. Tapi, ketika ada pemaksaan oleh pemeritah untuk mengenakan pakaian yang baik, seperti mengenakan kerudung, maka mereka protes. Padahal, itu sama-sama menyangkut hak pribadinya. Dalam 1 Korintus 11:5-6 dikatakan:

”Tetapi tiap-tiap perempuan yang berdoa atau bernubuat dengan kepala yang tidak bertudung, menghina kepalanya, sebab ia sama dengan perempuan yang dicukur rambutnya. Sebab jika perempuan tidak mau menudungi kepalanya, maka haruslah ia juga menggunting rambutnya. Tetapi jika bagi perempuan adalah penghinaan, bahwa rambutnya digunting atau dicukur, maka haruslah ia menudungi kepalanya.”

Orang-orang Barat, meskipun beragama Kristen, tidak mau mewajibkan kerudung. Bahkan, karena pengaruh paham sekularisme, banyak sekolah di Barat – termasuk di Turki – yang melarang siswanya mengenakan kerudung. Untuk itulah mereka kemudian membuat berbagai penafsiran yang ujung-ujungnya menghilangkan kewajiban megenakan kerudung bagi wanita.

Jadi, karena ingin menerapkan paham kebebasan, maka mereka menolak aturan-aturan agama. Konsep kebebasan antara Barat dan Islam sangatlah berbeda. Islam memiliki konsep ”ikhtiyar” yakni, memilih diantara yang baik. Umat Islam tidak bebas memilih yang jahat. Sedangkan Barat tidak punya batasan yang pasti untuk menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Semua diserahkan kepada dinamika sosial. Perbedaan yang mendasar ini akan terus menyebabkan terjadinya ”clash of worldview” dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dua konsep yang kontradiktif ini tidak bisa dipertemukan. Maka seorang harus menentukan, ia memilih konsep yang mana.

Kaum Muslim yang masih memegang teguh aqidahnya, pasti akan marah membaca novel The Satanic Verses-nya Salman Rushdie. Novel ini sangat biadab; misalnya menggambarkan sebuah komplek pelacuran di zaman jahiliyah yang dihuni para pelacur yang diberi nama istri-istri Nabi Muhammad saw. Bagi Islam, ini penghinaan. Bagi kaum liberal, itu kebebasan berekspresi. Bagi Islam, pemretelan ayat-ayat al-Quran dalam Tadzkirah-nya kaum Ahmadiyah, adalah penghinaan, tapi bagi kaum liberal, itu kebebasan beragama. Berbagai ucapan Mirza Ghulam Ahmad juga bisa dikategorikan sebagai penghinaan dan penodaan terhadap Islam. Sebaliknya, bagi kaum liberal, Ahmadiyah adalah bagian dari ”kebebasan beragama dan berkeyakinan.” Bagi Islam, beraksi porno dalam dunia seni adalah tercela dan dosa. Bagi kaum liberal, itu bagian dari seni dan kebebasan berekspresi, yang harus bebas dari campur tangan agama.

Kaum liberal, sebagaimana orang Barat pada umumnya, menjadikan faktor ”mengganggu orang lain” sebagai batas kebebasan. Seseorang beragama apa pun, berkeyakinan apa pun, berperilaku dan berorientasi seksual apa pun, selama tidak mengganggu orang lain, maka perilaku itu harus dibiarkan, dan negara tidak boleh campur tangan. Bagi kaum liberal, tidak ada bedanya seorang menjadi ateis atau beriman, orang boleh menjadi pelacur, pemabok, menikahi kaum sejenis (homo/lesbi), kawin dengan binatang, dan sebagainya. Yang penting tidak mengganggu orang lain. Maka, dalam sistem politik mereka, suara ulama dengan penjahat sama nilainya.

Bagi kaum pemuja paham kebebasan, pelacur yang taat hukum (tidak berkeliaran di jalan dan ada ijin praktik) bisa dikatakan berjasa bagi kemanusiaan, karena tidak mengganggu orang lain. Bahkan ada yang menganggap berjasa karena menyenangkan orang lain. Tidak heran, jika sejumlah aktivis AKKBB, kini sibuk berkampanye perlunya perkawinan sesama jenis dilegalkan di Indonesia. Dalihnya, juga kebebasan melaksanakan perkawinan tanpa memandang orientasi seksual. Mereka sering merujuk pada Resolusi Majelis Umum 2200A (XXI) tentang Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Maka, tidak heran, jika seorang aktivis liberal seperti Musdah Mulia membuat pernyataan: ”Seorang lesbian yang bertaqwa akan mulia di sisi Allah, saya yakin ini.” Juga, ia katakan, bahwa ”Esensi ajaran agama adalah memanusiakan manusia, menghormati manusia dan memuliakannya. Tidak peduli apa pun ras, suku, warna kulit, jenis kelamin, status sosial dan orientasi seksualnya. Bahkan, tidak peduli apa pun agamanya.” (Jurnal Perempuan, Maret 2008).

Apakah kaum liberal juga memberi kebebasan kepada orang lain? Tentu tidak! Mereka juga memaksa orang lain untuk menjadi liberal, sekular. Mereka marah ketika ada daerah yang menerapkan syariah. Mungkin, mereka akan sangat tersinggung jika lagu Indonesia Raya dicampur aduk dengan lagu Gundhul-gundhul Pacul. Mereka juga akan marah jika lambang negara RI burung garuda diganti dengan burung emprit. Tapi, anehnya, mereka tidak mau terima jika umat Islam tersinggung karena Nabinya diperhinakan, Al-Quran diacak-acak, dan ajaran Islam dipalsukan. Untuk semua itu, mereka menuntut umat Islam agar toleran,”dewasa”, dan tidak emosi. ”Demi kebebasan!”, kata mereka.

Logika kelompok liberal seperti Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dalam membela habis-habisan kelompok Ahmadiyah dengan alasan kebebasan beragama dan berkeyakinan sangatlah absurd dan naif. Mereka tidak mau memahami, bahwa soal Ahmadiyah adalah persoalan aqidah. Sebab, Ahmadiyah sendiri juga berdiri atas dasar aqidah Ahmadiyah yang bertumpu pada soal klaim kenabian Mirza Ghulam Ahmad. Karena memandang semua agama sama posisinya, maka mereka tidak bisa atau tidak mau membedakan mana yang sesat dan mana yang benar. Semuanya, menurut mereka, harus diperlakukan sama.

Cara pandang kaum ”pemuja kebebasan” semacam itulah yang secara diametral bertentangan dengan cara pandang Islam. Islam jelas membedakan antara Mu’min dan kafir, antara yang adil dan fasiq. Masing-masing ada tempatnya sendiri-sendiri. Orang kafir kuburannya dibedakan dari orang Islam. Kaum Muslim diperintahkan, jangan mudah percaya pada berita yang dibawa orang fasiq, seperti orang yang kacau shalat lima waktunya, para pemabok, pezina, pendusta, dan sebagainya. Jadi, dalam pandangan Islam, manusia memang dibedakan berdasarkan takwa nya.

Jadi, itulah cara pandang para pemuja kebebasan. Jika ditelaah, misi mereka sebenarnya adalah ingin mengecilkan arti agama dan menghapus agama dari kehidupan manusia. Mereka maunya manusia bebas dari agama dalam kehidupan. Untuk memahami misi kelompok semacam AKKBB ini, cobalah simak misi dan tujuan kelompok-kelompok persaudaraan lintas-agama seperti Free Mason yang berslogan ”liberty, fraternity, dan egality”, atau kaum Theosofie yang bersemboyan: “There is no religion higher than Truth.” Jadi, kaum seperti ini punya sandar ”kebenaran sendiri” yang mereka klaim berada di atas agama-agama yang ada. [Depok, 13 Juni 2008/www.hidayatullah.com]

Rabu, 11 Juni 2008

½

—aku jadi penasaran kenapa Tuhan menciptakan Adam dan Hawa saja ‘pertama’ kali ? kenapa tidak ada orang yang ke-tiga antara mereka ?—

Cinta ?
ah, tentu kau mengerti pendapatku tentang hal yang
satu itu, terkutuk!

Tapi, sayang. Kau-lah yang menanamkan cinta di diriku.
Sehingga sekarang aku jadi haus, kering akan cinta.

Cintamu bagai lampu yang berkedap-kedip, sebentar
terang sebentar redup.
Namun yang ku butuhkan justru cahaya yang selalu
menerangi jiwaku.
Yang jelas ini bukan iklan Philips.

Kau buat diriku mengembara mencari cinta yang lain lagi.
Tapi lalu kau hancurkan, seolah itu merupakan
pengkhianatan terhadap cinta kita.

Aku tak puas, manisku.
Satu hal yang ku tahu pasti :
cinta kita tak terpisah,
sampai tiba hari itu.

Kita slalu menganalogikan cinta kita.
Bagai Romeo-Juliet, atau Rojali-Juleha, sampai kita
tak puas dengan tokoh-tokoh tersebut.
Dan mulai menokohkan diri kita sendiri.

Dan kini semua itu tinggal kenangan. Kita sama-sama
terluka, sakit dan kecewa.

Kau ingat tentang ‘dia’?
Aku pernah berkata : ‘ia bagaikan rembulan
sedangkan kau matahari’.
Ketika matahari tiada maka bulanlah yang bersinar.

Tapi siapa sangka kau bermain api dengan
sobatmu sendiri.
Dan cukuplah sudah kisah kita.

Kau menyalahkan ku karena tak pernah mengatakan ‘the magic word’.
Sebab ku pikir lewat diam pun kau dapat mendengarnya.
Kau pikir cinta itu harus slalu dikatakan.
Kau pikir karena aku pujangga maka mengalunlah puisi cinta, lagu cinta.

Tidak, sekali-kali tidak.
Bahkan aku tak pernah menemukan kata yang tepat yang mewakilkan
perasaanku padamu.

Lalu, kau berdalih hatiku bercabang. Mulai suka pada ‘dia’.
Sayangku, kenapa kita harus mencintai satu orang jika kita
mampu mencintai lebih.
Pilih Sukma atau Lilis ?
Memangnya ada wanita yang
mau dimadu?

Dan kenapa jodoh kita cuma satu, kenapa tidak lebih dari satu ?
Sekarang jelaslah sudah, kamu memilih sobatmu dan kau
biarkan aku memilih dia.

Waktu terus berjalan dan aku tak pernah menyesali apa yang
pernah terjadi antara kita.
Aku tlah belajar banyak—tentang cinta, benci, sayang serta kecewa
yang kesemuanya itu hanya dipisahkan oleh selaput tipis.

Cintaku tak akan pernah lengkap lagi. Sebagian telah pergi
bersama perginya dirimu. Dan mau tahukah engkau pendapatku
tentang cinta : “ ½ Terkutuk

Selasa, 10 Juni 2008

Senin, 09 Juni 2008

Minggu, 08 Juni 2008

the hidden truth

bayangkan kita memberi uang untuk membiayai dan memfasilitasi musuh2 kita agar mereka dapat membunuhi, memusnahkan, dan menyesatkan kita namun saudara sesama kita yg memprotes dan berjuang dan melawan mereka, ditangkapi, dihujat, dicaci, dicibir, dijauhi, dikucilkan, dipojokkan, dimusuhi. lebih parahnya kita membela mati2an sampai pasang badan dan melindungi musuh2 kita. menjadikan musuh2 kita sebagai pempimpin dan pengatur kehidupan kita. sesudah itu lantas kita tersenyum lebar mengatakan semua yg kita lakukan atas nama demokrasi, ham, anti-teroris, membela yg minoritas, semuanya sama dimata hukum. kondisi seperti apa ini? org seperti apa kita? gilanya lagi kita cengengesan minta diadu domba dengan sesama dan dijadikan sapi perahan mereka.

kenapa ini semua terjadi? kita telah mengabaikan ilmu yang paling hakiki, malah men-cap ilmu itu kampungan, kuno dan sudah tidak zamannya lagi. padahal telah dijanjikan ilmu itu tak kan lekang oleh waktu. buktinya sudah 14 abad, ilmu itu masih ada dan berkembang. tapi kita menilai, menghukumi, memandang bukan berlandaskan ilmu tersebut, maka seperti yang telah dijanjikanNya pula, lihatlah kekacauan yang terjadi di muka bumi. namun kita berkelit bahwa itu semua bukan karena ilmu yang mereka pakai tapi karena orang yang punya ilmu itu. intinya itu semua kembali ke manusianya. saya punya logika sederhana. misalkan anda merakit dan menciptakan robot. sudah pasti anda mengetahui seluk beluk, detil dan karakteristik keseluruhan robot tersebut. namun pada perjalanan hidup robot tersebut. robot itu membuat hukumnya sendiri, membuat aturan sendiri. contohnya robot itu bahan bakarnya gas tapi ia ganti dengan tanah. sudah pasti kerusakanlah yang akan terjadi. nah seperti itu pula-lah kondisi kita saat ini.

bukankah telah datang kepada mu, pemberi peringatan.
..dan telah jelas dan nyata mana yang haq dan mana yang batil.

Kamis, 05 Juni 2008

unspeakable concern

banyak pertanyaan yang belum terjawab atau ga mau dijawab oleh diri kita, sebagai manusia yang berstatus muslim. ini bukanlah SARA, tapi memang konsekuensi bagi kita yang mengucapkan dua kalimat syahadat. tak lebih dari itu.
beberapa diantaranya, ketika kita melihat orang lain melakukan kemungkaran kita seolah terdiam dan kesan yang muncul malah merestui perbuatan tercela tersebut, secara hak dan kewajiban sudah sepatutnya kita mencegahnya. beberapa mengatakan : 'itu kan urusan dia dgn Tuhannya, yang penting kita tidak ikut-ikutan koq'. disinilah letak masalahnya, kita seolah menutup muka. bayangkan kalau 1/3 penduduk bumi mengatakan hal yang sama.

- iklan/tv mengajarkan kita sikap serba boleh atau permisif yang pada akhirnya mengacaukan pemahaman yg ada.
- kita bertanya, meminta pendapat bukan kepada ahlinya.
- ketika org muslim mengingatkan saudaranya, kita mencemooh sebab yg menasehati tidak lebih baik dari yg dinasehati. lantas kita maunya dinasehati oleh siapa? oleh org kafir yg cenderung memerangi dan menyesatkan kita?!
- jaman sekarang lebih banyak fitnah dibiayai / dikomersilkan sebab fitnah dapat menjadi 'materi'
- sebenarnya banyak profesi atau lahan pekerjaan halal. tapi kita cenderung mencari yg haram. sebab kita ingin cepat kaya/sukses, jadi jalan apa pun ditempuh.
- alim ulama, sudah beda kata beda perbuatan.
- kita cenderung menuntut org lain sempurna tapi kita tak pernah mau dituntut hal sama oleh org lain.
- itu semua kan tergantung orangnya? padahal jelas2 telah nyata mana yg salah mana yg benar.

Senin, 02 Juni 2008

Wise Words

sesungguhnya kalian berada dalam perjalanan malam dan siang. dalam umur yang terus berkurang, dengan amal yang tersimpan, dalam kematian yang akan tiba-tiba datang. barang siapa menanam kebaikan akan memetik dengan sukacita. barang siapa menanam keburukan, akan memetik dengan dukacita. setiap penanam akan mendapatkan apa yang ditanamnya. yang lambat takkan dihalangi apa yang memang menjadi haknya. yang tamak takkan mendapati apa yang memang bukan haknya. barangsiapa memberikan kebaikan, allah akan memberinya kebaikan. barangsiapa menjauhi keburukan, maka allah akan menjaganya dari keburukan. (ibnu mas'ud radhiyallahu'anhu)

abu bakar as-shidiq ra, berkata :
kegelapan itu ada lima dan pelita dalam kegelapan itu juga ada lima. cinta dunia itu kegelapan, pelitanya adalah taqwa. dosa itu kegelapan, pelitanya adalah taubat. kubur itu kegelapan, pelitanya adalah Laa ilaaha illallah muhammad rasulullah. akhirat itu kegelapan, pelitanya adalah amal shalih. dan shirat (jembatan) itu adalah kegelapan, pelitanya adalah iman.

dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhoan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami. dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik. (QS. al-ankabut:69)

take time to think, it is the source of power
take time to read, it is the foundation of wisdom
take time to quiet, it is the opportunity to seek God
take time to dream, it is the future made of
take time to pray, it is the greatest power on earth
(rahasia membangun kecerdasan emosi dan spiritual, ESQ, Ary G.A)

Allah meluaskan rizki dan menyempitkannya bagi siapa yang dikehendakiNya (Ar-rad: 26)

setiap orang bekerja sesuai keadaannya masing-masing (al-isra:84)

sesungguhnya ada dosa yang tidak bisa dihapus kecuali dengan berpayah-payah mencari ma'isyah (hadist)

diantara dosa-dosa, ada dosa yang tidak bisa dihapus oleh sholat, tidak pula oleh puasa, tidak pula oleh haji, tetapi bisa dihapus dengan kelelahan mencari mata pencaharian (HR. Tabrani)

Dari Ibnu Mas'ud dari Nabi SAW bersabda : tidak ada iri hati yang diperbolehkan kecuali dua hal yaitu : seseorang yang diberi kekayaan harta oleh Allah kemudian dihabiskannya dalam menegakkan kebenaran, dan seseorang yang diberi ilmu oleh Allah kemudian diamalkan dan diajarkan kepada sesama manusia (riwayat bukhari dan muslim)

kapan seorang hamba bisa beristirahat? ketika kakinya menginjak surga (Imam Ahmad)